Toleransi Beragama

 Toleransi Umat Beragama dalam Kehidupan Berbangsa dan agama 

Oleh: Dimas HS. Cluster 37 

 Indonesia adalah negara yang sangat kaya keberagaman. Indonesia memiliki banyak keberagaman, misalnya keberagaman pulau, keberagaman budaya, keberagaman bahasa, dan yang penting adalah keberagaman beragama. Agama yang resmi di Indonesia ada enam yaitu agama islam, agama Kristen, agama katolik, agama hindu, agama buddha, agama konghucu. Sebagai orang Indonesia selayaknya kita patut untuk bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena kita dapat hidup berdampingan dengan berbagai umat beragama yang ada di Indonesia. Kita juga dapat hidup dengan orang yang berbeda suku dengan kita tanpa harus ada permusuhan, pertikaian, caci maki, dan saling mengolok – olok satu sama lain. Itulah Indonesia dengan ribuan bahkan jutaan keberagamannya tapi tetap bisa hidup berdampingan dengan satu sama lain. 

 Berbicara mengenai keberagaman agama, sebagai warga Indonesia tentunya kita pernah mendengar peraturan terkait kebebasan memeluk agama. Dalam pasal 29 Ayat 1 dan 2 UUD 1945, berbunyi (1) “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya.” (2) “Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Dari pasal tersebut bisa kita impelementasikan dalam kehidupan sehari – hari, pada ayat 1 yang berbunyi “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya.” Berarti disini kita sebagai warga negara Indonesia diberi kebebasan untuk memeluk agama yang sesuai dengan peraturan di Indonesia, seperti agama islam, kristen, katolik, buddha, hindu, dan konghucu. Kita sebagai warga negara Indonesia yang telah beragama juga dijamin kebebasannya dalam menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaan kita masing – masing. 

 Pasal 29 UUD 1945 ayat 2 yang berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Hal ini berarti bahwa negara benar – benar menjamin kemerdekaan rakyatnya dalam menjalankan agama dan kepercayaannya sesuai syariat masing – masing. Begitu hebatnya negara dalam mengelola keberagaman agama yang ada pada seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Berkaca dari hal ini seharusnya Indonesia baik – baik saja dan tidak ada masalah dalam beragama, karena sudah dijamin oleh negara. Namun, apakah impelemntasi itu benar – benar dilakukan sesuai peraturan ? Apakah antar umat beragama sudah memberi kebebasan dan kemerdekaan beragama kepada orang lain? Apakah penerapan kebebasan beragama benar – benar dapat dilakukan oleh semua masyarakat?

 Kita mungkin bertanya – tanya mengenai kebebasan beragama.Mungkin secara garis besar kita melihat hal ini seperti biasa dan tidak terjadi apa-apa. Mengutip dari tempo.co ada beberapa kasus tentang kebebasan beragama,seperti : 

 Penyerangan Gereja St. Lidwina, Yogyakarta

Jemaah di Gereja St. Lidwina diserang oleh seorang pemuda bernama Suliyono yang membawa pedang pada Ahad, 11 Februari 2018. Serangan itu dilakukan saat umat Katolik mengikuti misa yang dipimpin Romo Edmund Prier SJ. Akibatnya Beberapa umat dan romo mengalami luka-luka.

Kala itu, Suliyono mengamuk. Setelah melukai Romo Prier ia bergerak ke kanan kiri di mimbar. Lelaki berkaus hitam yang menenteng tas ini membabi buta menebas kepala dan wajah patung Jesus dan Maria di kanan dan kiri mimbar.

Wakil Ketua SETARA Institute, Bonar Tigor Naispospos mengatakan kasus yang terjadi di Gereja St. Lidwina ini merupakan serangan kepada kebebasan beragama. “Kasus ini harus kita lihat sebagai serangan kepada kebebasan beragama karena kejadiannya berlangsung saat sedang ibadah,” kata Bonar kepada Tempo, Ahad, 11 Februari 2018.

2. Pembubaran Gafatar, Kalimantan

Gerakan Fajar Nusantara atau Gafatar membubarkan diri sejak 2015. Alasannya karena bermunculan kelompok-kelompok intoleran yang menyebarkan teror pada anggota mereka. Teror ini akhirnya berhasil dan membuat anggota Gafatar ketakutan sampai membubarkan diri.

Mantan pengurus Gafatar, Adam Mirza, mengatakan sejak didirikan pada 2011, Gafatar memiliki 52 ribu anggota yang tersebar di 34 provinsi dalam empat tahun. Organisasi ini memiliki misi menjadikan bangsa Indonesia mandiri dan berdaulat secara pangan.

Keberadaan organisasi itu, kata Adam, diterima dengan baik oleh masyarakat suku Dayak di Kalimantan. Sebab, dia menyebut, anggota Gafatar berhasil membuat lahan gambut bisa diolah menjadi lahan pertanian. Karena itu, anggota Gafatar pun tak sulit mendapatkan lahan untuk bertani. "Setelah bertahun-tahun, kok tiba-tiba ada masyarakat enggak suka kami. Terus mengusir," kata dia.

3. Penyerangan, perusakan, dan pengusiran penganut Ahmadiyah, Lombok Timur

Sekelompok orang melakukan penyerangan, perusakan, dan pengusiran terhadap warga penganut Ahmadiyah di Dusun Grepek Tanak Eat, Desa Greneng, Kecamatan Sakra Timur, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, pada 19-20 Mei 2018.

Peristiwa penyerangan dimulai pada 19 Mei, sekelompok orang merusak dan mengusir tujuh kepala keluarga dan 24 orang dari Dusun Grepek Tanak Eat. Penyerangan berlanjut pada Ahad, 20 Mei 2018. Pada pukul 06.30 Wita, satu rumah penduduk kembali dihancurkan.

Sekretaris Pers Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia Yendra Budiana mengataka, "target penyerang adalah meratakan semua rumah penduduk komunitas muslim Ahmadiyah dan mengusirnya dari Lombok Timur."

4. Perusakan dua wihara dan lima kelenteng, Medan

Dua vihara dan lima kelenteng di Tanjung Balai, Medan, Sumatera Utara, dibakar massa. Peristiwa itu dipicu permasalahan etnis akibat salah paham yang terjadi di antara mereka dan seorang penduduk keturunan Tionghoa. Meiliana.

Pembakaran tempat ibadah dan kerusuhan itu terjadi pada 29 Juli 2016. Ditengarai oleh keberatan jamaah masjid, karena sebelumnya Meiliana sempat mengucap kalau suara azan magrib dari pengeras suara di masjid dekat rumahnya terlalu kencang.

Padahal menurut kuasa hukum Meiliana, Ranto Sibarani, yang diucapkan kliennya pada saat itu adalah “Kak, dulu suara Mesjid kita tidak begitu besar ya, sekarang agak besar ya”, kepada Kasini, tetangganya yang seorang pemilik warung. Atas hal ini pada 21 Agustus 2018 akhirnya Meiliana diganjar hukuman satu tahun enam bulan penjara, atas kasus penistaan agama. Hakim menilai ia terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 156 a KUHP.

 Dari berbagai kasus itu seharusnya kita bisa menyimpulkan bahwa belum bisa dikatakan bahwa kita bebas dalam beragama, masih saja ada oknum yang dengan sengaja atau tidak ingin meruntuhkan hal yang sudah dibangun bangsa ini dari lama, yakni kebebasan dan kemerdekaan dalam beragama. Dalam hal ini sepantasnya kita paham tentang peraturan negara soal kebebasan beragama tadi. Jadi kita memang boleh dan bebas memeluk agama apapun tapi dalam menjalankan agama kita harus memberi kebebasan kepada orang lain yang berbeda atau sama dengan agama kita untuk bebas menjalankan agama sesuai keyakinan tiap orang. 

 Kita boleh memilih agama apapun tapi janganlah kita mengusik dan ikutcampur masalah agama orang lain berilah kebebasan mereka dalam menjalankan agama mereka masing-masing. Jangan sampai agama yang kita anut dan kita yakini menjadi tercemar karena perbuatan kita. Jadikanlah agama menjadi jalan kita untuk bisa hidup berdampingan dan hidup aman di Indonesia, karena di agama apapun pasti diajarkan untuk menghargai dan menghormati agama dan umat lain yang berbeda.

 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Siraman ( teks eksposisi ) > bahasa Jawa ya!

Teks eksposisi seserahan